Minggu, 30 Maret 2014

TONGKONAN PUANG RAMBULANGI DI PANGI MANDETEK MAKALE




  

  








Tongkonan  Layuk  Pangi didirikan oleh Puang Rambulangi Tua (dolo) diatas puncak Buntu Pangi yg dikenal dengan daerah Pollo Padang di Mandetek, Makale.  Tongkonan  Layuk Pangi pernah menjadi pusat pemerintahan, pertahanan dan keamanan Kerajaan Datu Matampu’ pada saat Puang Rambulangi mengalahkan Datu Matampu’ dan memindahkan pusat pemerintahan  Kerajaan Datu Matampu’ ke Tongkonan ini.
Pada saat Puang Tarongko menikah dengan Tumba’ Datu Bubun dari tongkonan To’pao di Mandetek, maka Puang Tarongko membangun kembali tongkonan  Layuk Pangi  yang sudah rubuh dan berpesan kepada istrinya Tumba’ Datu Bubun dan anaknya Puang Baratu agar memelihara dan membangun kembali Tongkonan ini apabila suatu saat rusak atau rubuh.
Setelah Puang Baratu menikah dengan Puang J Kalua(cucu puang bungin) dari tongkonan lepungan bungin, maka mereka membangun kembali tongkonan ini yg sudah rusak dan rubuh. Namun lokasi pembangunannya dipindahkan ke lereng buntu pangi dengan alasan lokasi tongkonan lama susah dijangkau karena berada diatas puncak bukit .
 Pada saat peristiwa Andi Sose dimana terjadi perang  besar-besaran antara masyarakat  Toraja yang bersenjata melawan  pasukan batalion Andi Sose maka tongkonan  Layuk Pangi dibakar oleh pasukan Andi Sose yg kecewa karena kalah perang dan diusir dari Tanah Toraja. Yang tersisa dari dari pembakaran tersebut hanya 1 (satu) lumbung yg sempat dipadamkan oleh masyarakat ,setelahpasukan Andi Sose meninggalkan tempat itu. Meskipun menurut Puang Duma’ Andilolo bahwa Andi Sose menyesal dan meminta maaf atas peristiwa tersebut, karena dia merasa  bahwa  salah satu neneknya masih keturunan puang dari Tallu Lembangna.
Karena mengingat pesan dari Puang Tarongko maka cucunya yaitu Puang Prof. Dr. John Rambulangi yaitu anak dari Puang Baratu dan Puang J.Kalua membangun kembali Tongkonan  ini  dan dibantu oleh  saudara saudaranya yaitu: Puang Pdt. Daniel Payung Allo, Puang Margaretha Marimbun/Puang  Kun Massora , Puang Naomi Tuppa Kalua, Puang Dorce Daun Allo, Puang Adrial Rumengan Kalua, Puang Elim Kalua, Puang Marten Kalua dan Puang Martinus Kalua .
Tongkonan  Layuk Pangi diresmikan (mangrara banua) pada tanggal 3 Januari 2004 dan dihadiri oleh semua rumpun keluarga besar puang Rambulangi yang ada di Jakarta, Makasar, Toraja dan tempat tempat lainnya.   Lokasi Tongkonan Layuk  Pangi, mandetek, terletak kira-kira 6 km dari pusat  kota Makale.  Jika kita berjalan dari arah Makale menuju Rantepao maka tongkonan ini terletak di sisi kiri jalan (kira kira 100 meter dari pinggir jalan) ,  sebelum masuk penurunan daerah Kia’tang, Lepungan Bungin. 

PUANG RAMBULANGI DAN RIWAYAT HIDUPNYA

  
           
              Puang Rambulangi  merupakan  salah satu nenek dari Puang Mamullu dan Puang Tarongko. Puang Rambulangi adalah seorang pelopor dan penguasa adat, sekaligus sebagai pemegang kekuasaan Takia  Bassi dan Panglima Perang kerajaan Datu Matampu.  Dulu, di daerah Sulawesi selatan bagian utara  terdapat  2 (dua) Kerajaan yang dikenal oleh masyarakat yaitu Kerajaan Datu Matallo atau Kerajaan Luwu’ yang berkedudukan di Palopo dan Kerajaan Datu Matampu’ yang berkedudukan di Tongkonan Layuk Deata Rano, Ma’ kale Tana Toraja. Pada jaman  itu,  tempat yang disebut Ma’kale adalah daerah sekitar Rante Kasimpo, Kamali, Batupapan  dan berkembang sampai di daerah bombongan  yg menjadi  pusat kota Makale sekarang ini. Ketika Belanda masuk ke Toraja dan mencari tempat untuk lokasi ibukota pemerintahan di Tana Toraja, mereka memilih Ma’kale bukan Rantepao, karena Ma’kale dianggap pernah  menjadi pusat  pemerintahan kerajaan datu matampu’ sehingga dari segi pemerintahan lebih muda dikendalikan  karena  masyarakatnya  sudah terbiasa diatur di dalam kerajaan.  Disamping itu warisan  harta  kekayaan Kerajaan di Makale pada waktu itu yang  berupa tanah kering  dan sawah cukup banyak, sehingga lebih mudah  diatur untuk dimanfaatkan  oleh Pemerintah Belanda.
                Menurut data sejarah, Puang Rambulangi dikenal juga sebagai seorang tomanarang  sehingga  ia  dapat mengendalikan pemerintahan di kerajaan datu matampu’. Tongkonan Puang Rambulangi terletak diatas puncak buntu pangi di daerah mandetek yang dikenal sebagai daerah pollo’ padang.
Puang Rambulangi menikah dengan Puang Gonggang Tua (dolo) dan melahirkan 5(lima) orang anak yaitu:
1. Puang Rambulangi’ Tangnga ( Puang Lando Inaa).
2. Puang Pabiung.
3. Puang Kerang ( mate malolle).
4. Puang Lai Rambulangi’.
5. Puang Bambalangi’.
                Kerajaan  datu Matampu’  mengalami  kemajuan pesat di bidang ekonomi,pemerintahan dan pertahanan  pada saat dipimpin oleh  Puang   Payak Allo  (Datu Matampu’), anak  dari Puang Messok,   sehingga kerajaan Datu Matallo atau  Kerajaan Luwu’ merasa terancam dan tersaingi.  Hal ini menyebabkan Datu Kelali yang saat itu memimpin Kerajaan Luwu’ selalu mencari jalan untuk melemahkan kerajaan  Datu Matampu’ dengan cara mengadu domba Puang Rambulangi’  sebagai panglima perang dengan  Datu Matampu’.  Hal ini terbukti setelah salah seorang anak dari puang Rambulangi’ yaitu Puang Pabiung (anak kedua) dibunuh oleh Puang Para’mak anak dari Datu Matampu’, memperebutkan seorang putri dari Puang Paetong dari  Mengkendek. Datu Kelali ikut berperan dalam peristiwa ini karena ingin menghancurkan kerajaan datu matampu’. Dengan adanya pembunuhan ini maka Puang Rambulangi’ menuntut penyelesaian secara adat, tetapi ditolak oleh Datu Matampu’.  Hal ini menyebabkan Puang Rambulangi marah. Ia menghimpun pasukan yang setia kepadanya  dan mengumumkan perang  melawan datu matampu’, sehingga pecahlah perang saudara yang pertama kali di Tana Toraja pada waktu itu yang dikenal dengan istilah Rari Tosangtaran Lolo Ma’pempissanna. Karena kekuatan pasukan kedua belah pihak agak berimbang maka terjadilah perang yg cukup lama.  Hal ini dimanfaatkan oleh  datu kelali’ dari kerajaan luwu’ untuk menguasai  Kerajaan Datu Matampu’ dengan jalan memberikan bantuan pasukan kepada Puang Rambulangi’.  Maka datanglah pasukan datu kelali’ ke tana toraja yg dikalangan masyarakat Toraja dikenal dengan  nama pasukan kelali’ karena topi perang yg digunakan oleh pasukan itu didepannya berbentuk kepala ayam jantan dan gelambirnya (lali’nya) berwarna merah. Dengan kedatangan pasukan tersebut maka perang tidak berimbang lagi sehingga pasukan datu matampu’ dapat dikalahkan dan kekuasaan di kerajaan datu matampu’ jatuh ke tangan Puang Rambulangi’. Puang Rambulangi’ memindahkan pusat pemerintahan kerajaan datu matampu’ dari Tongkonan Layuk Deata Rano  ke Tongkonan  layuk Pangi, di  Mandetek.  Sehingga mulai  pada saat itu Tongkonan Layuk  Pangi menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan kerajaan datu matampu’.
                Datu matampu’ beserta keluarganya dan disertai dengan sisa-sisa pasukan yg setia kepadanya, melarikan diri ke daerah pitu ulunna salu dan menetap disekitar  Rante Bulawan yaitu tempat yg terletak  sekitar perbatasan Toraja, Mamasa  ,Pinrang / Mandar.
                Dengan kekalahan datu matampu’ tersebut maka datu kelali mulai merencanakan untuk menguasai Tana Toraja dan berencana memindahkan Kabarealloan dan Kalindobulawanan ke kerajaan luwu’. Datu kelali’ menuntut Rampasan Perang  yang persyaratannya tidak masuk akal dan sangat sulit  untuk  dipenuhi . Dia  juga berencana  akan   menghapus atau menghilangkan gelar Puang dan Datu  dari Tana Toraja.   Karena pada saat itu ada 2 (dua) gelar yg biasa digunakan oleh  kalangan  bangsawan  di Toraja  yaitu gelar puang dan gelar datu.
                Gelar puang bersifat umum yaitu gelar panggilan untuk semua keturunan bangsawan sedangkan gelar Datu bersifat khusus yaitu hanya digunakan untuk panggilan bangsawan yang telah diangkat menjadi pemimpin atau raja di dalam kerajaan datu matampu’ .
                Dengan perlakuan Datu Kelali yang sewenang-wenang dan keinginannya  untuk menguasai  Tana Toraja, Puang Rambulangi’ marah dan berencana mengusir pasukan datu kelali’ dari tana toraja. Rencana tersebut didukung oleh Puang Pasallin (palodang) dari Tongkonan Layuk  Kaero Sangngalla’. Untuk melaksanakan  niat ini, Puang Rambulangi’ menghimpun kembali pasukan kerajaan datu matampu’ yg pada waktu perang saudara terpecah belah  dan   melengkapi mereka dengan persenjataan perang. 
                Setelah persiapan perang sudah dianggap cukup, maka Puang Rambulangi dibantu  oleh Puang Pasallin dari Tongkonan Layuk  Kaero Sangngalla’ mengumumkan  perang melawan pasukan datu kelali’ sehingga pecahlah perang selama 7 (tujuh) Tahun antara Toraja dan Luwu’. Karena pasukan Puang Rambulangi’ dan Puang Pasallin  menguasai medan dan didukung oleh masyarakat banyak , maka pasukan datu kelali’ dapat  dipukul mundur sampai di daerah perbatasan antara Sangngalla’ dan Luwu’ yaitu  daerah disekitar sungai Pangiu’.
                Pasukan datu kelali’ yg mendapat pasukan tambahan dari luwu’ mulai bertahan disekitar daerah perbatasan tersebut yg menyebabkan  terjadi perang habis-habisan yg menyebabkan gugurnya ratusan prajurit dari kedua belah pihak, sehingga terjadi peristiwa yg dikenal dengan  istilah Tambun Tanah atau tumpukan/timbunan tanah tempat menguburkan jenazah prajurit yg gugur dalam pertempuran. Pada waktu itu banyak sekali prajurit yang gugur sehingga tidak bisa lagi dikuburkan satu per satu, maka jenazah para prajurit tersebut hanya ditimbun dengan tanah. 
                Pertempuran baru dapat dihentikan setelah Puang Pagonggang dari Batualu turun tangan sebagai penengah dengan mengundang kedua belah pihak untuk mengadakan perdamaian. Puang Pagonggang merupakan ayah mertua dari datu kelali’ karena salah satu putrinya yaitu Puang Buni Salen menikah dengan datu kelali’ yg dikaruniai  3 (tiga) orang anak. Perdamaian dapat dilaksanakan dengan mengadakan Tananan Basse yaitu mengangkat  Sumpah Keramat dengan menguburkan seekor kerbau jantan bertanduk tekken langi’ (satu tanduknya turun kebawah dan yg satu naik keatas). 
                Dengan adanya perdamaian tersebut maka disepakati  hal hal sebagai berikut :  Gelar Puang tetap dipakai oleh kalangan bangsawan Toraja di daerah Tallu Lembangna, tetapi gelar Datu dihapus/ditiadakan dan hanya dipakai dikalangan bangsawan Luwu’.
                Begitu pula dengan Kabarealloan dan Kalindobulawanan tetap dipertahankan keberadaannya di Toraja dan Payung Ri Luwu’ tetap akan dilantik oleh  salah satu dari keturunan Puang Laki  Padada yang ada di tallu lembangna yaitu dari Basse Kakanna (Makale)  atau Basse Tangngana (Sangngalla’) atau Basse Adinna (Mengkendek).
                Disamping itu pula daerah Pantilang dan Ranteballa ditetapkan  sebagai daerah penyangga  atau  pemisah antara Toraja dan Luwu’ sehingga kedua belah pihak tidak boleh menyebrangi nya untuk menyerang satu sama yang lain. Itulah sebabnya perjanjian atau Basse ini biasa disebut  juga Basse Sangtempe’ (Bastem). Dengan adanya perjanjian atau Basse tersebut maka mulai saat itu tidak pernah lagi terjadi perang antara Toraja dan Luwu’ karena takut melanggar Basse yang telah ditetapkan.
                Selanjutnya setelah puang  Rambulangi meninggal, dia digantikan oleh anaknya  yaitu Puang Rambulangi’ Tangnga ( anak pertama)  yang diberi gelar Puang Lando Inaa  karena pintar  dan ahli dalam berstrategi perang.
                Salah satu turunan dari Puang Rambulangi Tangnga  yaitu Puang Tumba’ Pakolean menikah dengan Puang Bitti Langi’ anak dari Puang Bullu Matua dari Tongkonan  Layuk  Tarongko, Makale dan  melahirkan Puang Tiang Langi’ yang merupakan salah satu nenek dari Puang Mamullu dan Puang Tarongko.
                Demikianlah riwayat hidup singkat  dari Puang Rambulangi’ serta  peranannya  untuk mempertahankan Tanah Toraja dari invasi kekuasaan Kerajaan Datu Matallo (Kerajaan Luwu’) .